Review Tentang
Antropologi Hukum dan
Hak Masyarakat Adat
Tanah adalah sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa merupakan sumber daya alam
yang sangat diperlukan manusia untuk mencukupi
kebutuhan hidup manusia baik langsung untuk
kehidupannya seperti untuk bercocok tanam atau bertempat tinggal, maupun untuk
melaksanakan usaha. Karena makna yang multidimensional tersebut ada
kecenderungan bahwa orang yang memiliki tanah akanmempertahankan tanahnya
dengan cara apapun bila hak-haknya dilanggar, sangat berartinya tanah bagi
kehidupan manusia dan bagi suatu negara dibuktikan dengan diatur dalam Undang-Undang
Dasar 1945.
Dalam ketentuan di atas, yang disebut tanah
adalah permukaan bumi. Hak atas tanah adalah hak atas permukaan bumi, sedangkan bumi meliputi tanah, seluruh bagian isi bumi baik apa yang ada di dalamnya serta
di dasar perairan. Hubungan
manusia dengan tanah dalam hukum adat mempunyai hubungan yang
kosmis-magis-religius, artinya hubungan ini bukan antara individu dengan tanah
saja tetapi juga antar sekelompok anggota masyarakat suatu persekutuan hukum adat di dalam hubungan dengan hak ulayat.
Kriteria lain yang dapat digunakan sebagai
patokan untuk memberi arti pada masyarakat dalam hukum adat menyangkut norma
yang dianut oleh masyarakat dalam hukum adat menyangkut norma yang dianut oleh
masyarakat tersebut. Norma yang dimaksud hendaknya telah melalui proses pelembagaan
sehingga bersifat mengikat perilaku warga masyarakat. Dengan demikian norma
tersebut memenuhi kebutuhan masyarakat keteraturan.
Perkembangan hukum dan masyarakat
Indonesia berubah seiring dengan perkembangan bukan saja tuntutan sosial,
budaya, ekonomi dan politik, tetapi juga sistem hukum nasional turut berubah
pula. Sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, diikuti oleh era
pemerintahan Orde Lama dan Orde Reformasi yang mengindikasikan kemerdekaan
masyarakat hukum adat tampak semakin terpinggirkan. Sebutan ‘peladang liar’, ‘penebang
liar’, ‘suku terasing, masyarakat terasing’ dan sejenisnya menunjukkan nasib
masyarakat hukum adat terpinggirkan.
Hubungan antara masyarakat hukum adat
dengan tanah wilayahnya adalah hubungan menguasai dimana kepala adat mempunyai
peran dalam penyelsaian sengketa tanah ulayat, bukan hubungan milik sebagai
halnya dalam konsep hubungan antara negara dan tanah, bumi dan air dankekayaan
alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Negara dikenal dengan hak menguasai dari
negara, disini negara sebagai organisasi kekuasaan tertinggi mengatur,
menentukan dan menyelenggarakan penggunaan tanah di wilayah itu.
Patokan lain yang dapat dipergunakan
adalah melihat masyarakat secara deskriptif, yaitu menyangkut tentang
masyarakat dan kebudayaannya. Dengan melihat masyarakat secara deskriptif berarti
segala penjelasan terkait dengan batasan secara deskriptif berarti segala penjelasan
terkait dengan batasan mengenai masyarakat hukum adat harus menghubungkan
masyarakat dengan kaedah atau nilai yang dianut masyarakat tersebut dan juga
tentang bagaimana kehidupan budayanya dalam pengertian sehari-hari. Patokan ini
dapat dipandang sebagai pendekatan Antropologi suku adat dan karenanya ia diidentifikasi
sebagai satuan sosial. Sementara itu Boedi harsono (2012:272), mengemukakan
bahwa hak dan kewajiban hak ulayat masyarakat hukum adat mengandung 2 unsur
yaitu :
1. Mengandung hak kepunyaan bersama para
anggota warganya yang termasuk bidang hukum perdata
2. Mengandung tugas kewajiban mengelola,
mengatur dan memimpin penguasaan, pemeliharaan, peruntukan dan penggunaan yang
termasuk bidang hukum politik
Berpegang
pada konsepsi yang bersumber pada hukum adat, Maria Sumardjono, dkk (2008 :
231), memberikan kriteria penentu eksistensi hak ulayat yang didasarkan pada
adanya 3 (tiga) unsur yang harus dipenuhi secara stimulan yakni :
1.
Subyek
hak ulayat, yaitu masyarakat hukum adat dengan karakteristik tertentu.
2. Obyek
hak ulayat, yakni tanah yang terletak dalam suatu wilayah dan merupakan
pendukung utama penghidupan dan kehidupan masyarakat sepanjang masa.
3. Adanya
kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu.
Berdasarkan
Pasal 3 diatas, hak ulayat atau hak tanah diakui keberadaanya, akan tetapi pengakuan
itu diikuti syarat-syarat yang harus dipenuhi diantaranya :
1. Eksistensinya masih ada
2. Tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional
3. Tidak bertentangan dengan aturan–aturan dalam
Undang– Undang.
Sebagaimana
diketahui dalam kenyataannya hak ulayat itu ada dan berlaku serta diperhatikan
pula didalam keputusan-keputusan hakim, belum pernah hak tersebut diakui secara
resmi didalam Undang-Undang, dengan akibat bahwa di dalam melaksankan peraturan-peraturan
keagrarian. Konspsi hak ulayat menurut hukum adat dapat memungkinkan penguasaan
tanah secara individual dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadim
sekaligus mengandung unsur kebersamaa. Sifat komunalistik menunjuk kepada
adanya hak bersama para anggota masyarakat hukum adat atas tanah, yang dalam
kepustakaan hukum adat atas tanah disebut hak ulayat.
Pengakuan
hak-hak atas tanah ulayat dalam Undang-Undang Dasar 1945 maupun Undang-Undang.
Sayang sekali dalam kenyataannya hak-hak adat masyarakat hukum adat sering
dikalahkan oleh kepentingan-kepentingan golongan atau pihak-pihak tertentu dengan
cara mendompleng pemerintah. Alasan yang sering dipergunakan adalah pemanfaatan
sumber daya alami demi kepentingan nasional yang dituangkan dalam kebijakan
pemerintah.
Berbicara hukum adat tidak terlepas dari
konsep hukum yang hidup (living law) dalam masyarakat. Tergolong hukum
yang paling tua yang pernah dipergunakan masyarakat Indonesia, selain terdapat
hukum Islam dan hukum warisan kolonial. Karena itu living law pengertiannya
identik dengan hukum adat. Menurut Cornelis Van Vollenhoven yaitu keseluruhan
aturan tingkah lakupositif yang di satu pihak mempunyai sanksi (hukum) dan di
pihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasikan (adat). Tingkah laku positif
memiliki makna hukum yang dinyatakan berlaku disini dan sekarang. Sedangkan sanksi
yang dimaksud adalah reaksi (konsekuensi) dari pihak laon atas suatu pelanggaran
terhadap norma (hukum).
Hukum
dasar yang benar-benar hidup dalam masyarakat tidak hanya terdiri dari naskah
yang tertulis saja, Undang-Undang Dasar 1945 menganut paham ini dan selalu
dapat mengikuti perkembangan zaman karena UUD tersebut selain dapat dilakukan perubahan,
revisi juga penyempurnaan sebagaimana kedudukan hukum adat dengan jelas diakui
keberadaan dalam huku dasar di Indonesia.
Meskipun
perubahan kebijakan politik dan hukum terhadap pengembangan masyarakat hukum
adat telah terjadi, nasib masyarakat hukum adat sampai saat ini belum mengalami
perubahan signifikan. Pertama, pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat
hukum adat sebagaimana diatur dalam Pasal 18B ayat (2) dan 28I ayat (3) UUD
1945 belum dpaat diimplementasikan dan karena itu MHA belum memperolah manfaat
nyata. Kedudukan masyarakat hukum adat yang bukan subyek hukum (legal standing)
bukan saja tidak memiliki kewenangan untuk menguasai sesuatu hak milik, tetapi
juha mereka tidak dapat perkara di pengadilan. Padahal UU No. 24 tahun 2003
memberikan peluang pada masyarakat hukum adat untuk dapat berperkara di
Mahkamah Konstitusi RI.
Kedua, ketidakjelasan kedudukan hukum
masyarakat, hukum adat tersebut berakibat ketidak pastian hukum dan keadilan
hukum tidak dapat diperoleh. Hak-hak konstitusional hukum adat yang seharusnya
dapat dimanfaatkan oleh warga masyrakat. Kondiis mereka dalam bidang pendidikan,
bidang kebudayan, di bidang pelayanan kesehatan dan bidang sosial ekonomu
umumnya terbelakang. Ketika masyarakat hukum adat memperjuangkan hak-hak konstitusionak
mereka akibat kebijakan ekonomi nasional seperti tanah-tanah adat mereka
dikuasai oleh pemilik modal domestik dan asing tidak dapat dicegah. Kebijakan pembangunan
nasional yang diselenggarakan di berbagai daerah, apakah akrena pertambangan mineral
gas, minyak dan batu bara lainnya, atau akibat tumpang tindih pengaturan antara
tanah-tanah adat dengan pihak kehutanan, maka masyarakat hukum adat yang
terkalahkan. Padahal pengakuan dan penghormatan terhadap MHA, secara tekstual
telah jelas diatur dalam UU sektoral. Dalam kasus konflik pertanahan, terdapat
1400 kasus sengketa agraria di Pengadilan Sumatera Barat tak satu pun pihak
masyarakat adat diemangkan. Sama halnya dnegan tanah hak ulayat nagari sekitar
100ha telah berpindah menjadi tanah Departemen Kehutanan. Dimasyarakat Kalimantan
Barat, khususnya di Sambas hak tanah adat tembawang tidak dapat di klaim
masyarakat adat akrena letaknya berada dalam posisi hutan lindung.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian yang saya jelaskan
diatas, dapat ditarik kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut :
1. Antropologi
hukum dapat disimpulkan kumpulan gejala budaya secara kolektif dari suatu
masyarakat terhadap hukum dalam bentuk budaya (mematuhi atau melanggar hukum)
sangat dipengaruhi nilai-nilai budaya dari masyarakat itu sendiri. Hukum akan
dipatuhi bila tidak bertentangan dengan nilai-nilai budaya masyarakat tersebut
dan hukum akan dilanggar bila bertentangan dengan nilai-nilai budaya
masyarakat.
2. Hukum adat merupakan hukum asli masyarakat
Indonesia, berakar pada adat istiadat atau merupakan pancaran nilai-nilai dasar
budaya masyarakat Indonesia, yang berarti pula mengikat dan menemukan segala
pikiran tersebut diakui oleh UUD 1945 yang mencerminkan asas legalitas
berlakunya hukum adat bagi negara Indonesia sebagai adat kebiasaan.
3. Bentuknya
sebagai kebiasaan itulah, maka budaya hukum yang ada
dalam suatu masyarakat hukum adat cenderung berbentuk tidak
tertulis (unwritten law), hukum yang berlaku senantiasa mempertimbangkan
dan memperhatikan kondisi psikologi anggota masyarakatnya.
4. Masyarakt hukum adat, sekelompok orang
yang terikat oelh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan
hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan. Adapun masyarakat
adat sebagai subyek hukum, obyek hukum dan wewenang masyarakat adat sebagai
berikut :
a) Masyarakat
hukum adat di Indonesia merupakan masyarakat atas kesamaan teritorial (wilayah)
b) Geneologis (keturunan)
c)
Teritotial-geneologis
(wilayah dan keturunan)
sehingga terdapat keanekaragaman bentuk
masyarakat adat dari suatu tempat ke tempat lainnya. Adapun obyek hak masyarakat
atas wilayah adatnya (hak ulayat) adalah tanah, air, tumbuh-tumbuhan dan binatang.
5. Pengakuan
tentang hak-hak atas tanah ulayat terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945
maupun Undang-undang di bawahnya. Sayang sekali dalam kenyataannya hak-hak
masyarakat hukum adat sering dikalahkan oleh kepentingan-kepentingan golongan
atau pihak-pihak tertentu dengan cara mendompleng pemerintah. Alasan yang
sering dipergunakan adalah pemanfaatan sumber daya alami demi kepentingan
nasional, yang dituangkan dalam kebijakan pemerintah.
6. Meski
demikian perlu disadari bahwa sengketa pertanahan bukanlah suatu hal baru lagi
yang terjadi di masyarakat. Namun dimensi sengketa makin terasa meluas di masa
kini. Tanah termasuk tanah ulayat dalam perkembangannya juga telah memiliki
nilai baru, bilamana tidak saja dipandang sebagai alat produksi semata
melainkan sebagai alat untuk berspekulasi (ekonomi) tanah telah menjadi barang
dagangan dimana transaksi ekonomi berlangsung dengan pengharapan akan margin (keuangan)
perdagangan komoditas yang dipertukarkan itu. Sengketa yang berkenaan dengan
tanah adat atau tanah ulayat dalam penyelesaiannya melalui jalur
hukum atau mediasi, agar mengikat atai ditaati para pihak, perlu dilandasi
dengan pendekatan multidimensi (pendekatan antropologi, sosiologi, dsb Permasalahan tanah
adat dengan pendekatan yuridis formal semata tidak akan mencapai hasil yang
efektif. Hukum semata tidak adat diharapkan mengatasi masalah tanah yang begitu
komplek dan terlalu berhubungan dengan penerapan peraturan perundang-undangan
yang ada. Hal ini diperlukan dukungan dengan berbagai upaya untuk menjamin
terpenuhinya hak ekonomi masyarakat, agar paling tidak tuntutan- tuntutan
serupa dapat diminimalisir di masa yang akan datang. Selain itu juga diperlukan
sinergisitas hukum positip di bidang pertanahan dengan hukum adat yang ada
dimasyarakat, yaitu :
a) Diperlukan adanya pemahaman yang obyektif terhadap tanah Negara,
tanah ulayat dan tanah hak dalam kontek hukum adat dan hukum positif
b) Pendekatan
yang dilakukan adalah pendekatan persuasif-edukatif dan bukan memaksakan
kehendak sepihak.
c) Perlu adanya pendekatan cultural keagamaan, yang dapat
dilaksanakan melalui tiga (3) unsur pimpinan yaitu pimpinan adat, pimpinan
agama, dan pimpinan formal yang benar-benar memahami hukum adat dan hukum
positif (UUPA dan Peraturan pelaksananya).
7. Dalam hal ini hak-hak Masyarakat Hukum Adat
:
a)
Kewenangan atas wilayah masyarakat hukum adat, dan hak milik atas
tanah yang berasal dari hak adat dibuktikan melalui
b) Alat
pembuktian lisan (pengakuan masyarakat secara lisan tentang kewenangan atas
wilayah adat tertentu atau kepala adat)
c)
Alat pembuktian secara fisik (kuburan nenek moyang, terasering
bekas usaha tani, bekas perumahan, kebun buah-buahan, tumbuhan exotic hasil
budidaya, peninggalan sejarah dunia, gerabah dan prasasti dan lain-lain (diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah)
8. Kewenangan kelembagaan adat dilakukan dengan beberapa kemungkinan
a)
Pengakuan masyarakat adat oleh masyarakat adat itu sendiri
b) Pengakuan
keberadaan masyarakat hukum adat oleh lembaga yudikatif berdasarkan keputusan
pengadilan
c) Pengakuan
keberadaan masyarakat adat oleh suatu Dewan Masyarakat Adat dipilih oleh
Masyarakat Adat
d) Kewenangan atas pola pengelolaan sumber
daya hutan didasarkan pada pengetahuan asli yang ada dan tumbuh di masyarakat dengan
segala norma-norma yang mengatur batasan-batasan dan saknsi
9. Tantang yang dihadapi dalam pelestarian
masyarakat hukum adat selain terkait dengan kesimpangsiuran konsep dan definisi
masyarakat hukum adat, juga tidak adaynya mekanisme dan prosedur pengakuan dan
penghormatan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat secara pasti. Bilamana
pemberian pengakuan sebagaimana diamanahkan oleh UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah yang diberikan oleh Bupati dan Walikota terbukti tidaklah
cukup legitimite untuk mengakui keberadaan masyarakat hukum adat dengan
hak-hak tradisionalnya. Peluang untuk
melestarikan nilai-nilai adat dan budaya, sebagaimana dikemukakan dalam
pengalaman beberapa negara seperti Australia dan New Zealand dengan pentingnya
mempertimbangkan kerangka teorotis dan konsep yang relevan dengan masing-masing
masyarakat di berbagai daerah.
10.Sistem hukum bekerja secara berdampingan
dalam suatu bidang kehidupan sosial yang sama atau untuk menjelaskan keberadaan
dua atau lebih sistem pengendalian sosial dalam satu bidang kehidupan sosial
atau menerangkan suatu situasi di dua atau lebih sistem hukum berinteraksi
dalam satu kehidupan sosial atau suatu kondisi dimana lebih dari satu sistem
hukum atau institusi bekerja secara berdampingan dalam aktivitas-aktivitas dan
hubungan-hiubungan dalam satu kelompok masyarakat
11.Istilah aktualisasi bagi kebangkitan masyarakat hukum adat, dimaksudkan sebagai proses, cara, perbuatan mengaktualisasikan kembali penyegaran dan pembaruan nilai-nilai kehidupan masyarakat ke dalam kehidupan seharo-haridengan berupaya untuk melakukan penyusunan, pengumpulan secara umum mencakup berbagai unsur dalam hukum adat dan masyarakat hukum adat sebagai pedoman yang dapat mengarahkan lahirnya berbagai peraturan hukum adat yang selaras dengan kepentingan hukum dan nasional.
No comments:
Post a Comment